Perbedaan tamanni dan taroji dalam
segi nahwu dan balaghoh
Dalam nahwu. Jika kita mempelajari kitab alfiyah, di bab إن وأخواتها kita akan menemui lafadz ليت dan لعل.
Dan hal itu akan berkaitan dengan istilah tamanni dan taroji.
Sebenarnya apa sih tamanni dan taroji itu?
Tamanni adalah طلب ما لا طمع فيه أو ما فيه عسر yang
artinya meminta perkara yang tidak mungkin diharapkan atau sulit diwujudkan
(tidak mungkin terjadi), seperti contohnya;
ألا ليت الشباب يعود يوما yang artinya semoga sifat muda bisa kembali
lagi di suatu hari. Hal ini tidak akan mengkin terjadi, karena yang namanya
waktu akan terus berjalan dan tidak akan mungkin kembali lagi bukan.
Kemudian taroji adalah ارتقاب شيء محبوب ممكن yang artinya mengharapkan sesuati yang
disenangi dan mungkin terjadi, seperti contohnya:
لعل الحبيبة قادمة yang artinya semoga sang kekasih datang. Hal ini
masih mempunyai kemungkinan terjadinya, karena kedatangan seorang kekasih itu
bukanlah hal yang mustahil. Kecuali kalau orangnya jomblo, ngapain juga
mengharap kedatangan kekasih kalau jomblo wkwkwk.
Dalam balaghoh. Jika kita mempelajari kitab jawahir al-balaghoh
pada bab في حقيقة الإنشاء
وتقسيمه kita akan menemukan tentang pembahasan pembagian insya, yang
terbagi menjadi إنشاء
طلبي dan إنشاء غير الطلبي
Insya tholabi adalah kalam yang menuntut atau memerlukan
suatu perkara di saat perkara tadi belum terjadi pada waktu penuntutan. Jadi maksud
dari insya tholabi ini adalah mutakalim menginginkan sesuatu dari mukhotob dan
sesuatu tadi belum terjadi disaat mutakalim meminta sesuatu tadi atau disaat
mutakalim berbicara pada mukhotob.
Sedangkan insya ghoiru tholabi adalah kalam yang tidak menuntut
atau memerlukan sesuatu yang di saat itu belum terjadi. Berbeda dengan insya
tholabi tadi, kalau insya ghoiru tholabi tidak menuntut apapun dari mukhotob,
artinya mutakalim hanya berbicara yang cukup hanya didengar oleh mukhotob tanpa
diminta melakukan apapun.
Tamanni tadi kalau di dalam balaghoh tergolong kedalam insya
tholabi, sedangkan taroji tergolong kedalam insya ghoiru tholabi.
Jika dicermati lagi sebenarnya ada yang janggal dalam hal ini,
oleh karenanya penulis tidak menyia-nyiakan kesempatan bertanya kepada Prof. Dr
H. D. Hidayat MA. Guru besar bahasa arab di UIN Jakarta di saat pengajian balaghoh
di pesantren luhur sabilussalam.
Jika dicermati tamanni tadi, yang terjadinya itu mustahil, di
dalam balaghoh malah masuk kedalam kategori insya tholabi yang memerlukan akan
mathlub (sesuatu yang dituntut). Sedangkan taroji, yang kemungkinan terjadi,
malah masuk kedalam kategori insya ghairu tholabi yang tidak memerlukan
mathlub.
Penjelasan dari beliau akan masalah ini adalah. “kalau nahwu
itu sebagai hukum akal ketentuan-ketentuan, dan balaghoh itu lebih ke makna
dahulu kemudian menggunakan kalimat yang sesuai dengan keadaan. Tadi kenapa
tamanni yang mustahil terjadinya, di balaghoh justru termasuk ke dalam kategori
tholabi, Sedangkan taroji yang ada kemungkinan untuk terjadinya, di balaghoh
justru termasuk dalam kategori ghoiru tholabi? karena kesungguhan pengharapan
yang ada di tamanni itu lebih besar dibanding taroji. Kalau di logika sesuatu
yang mustahil itu justru akan menimbulkan pengharapan yang amat sangat untuknya.
Dan sesuatu yang kemungkinan untuk terjadinya, kita tidak terlalu berharap
sangat, karena kita tahu pasti kalau hal itu masih mungkin untuk terjadi.
Sekian, semoga bermanfaat J