Friday, September 28, 2018




            Alquran adalah kitab suci umat islam, di dalamnya mengandung pedoman hidup yang komprehensif bagi umat islam. Semua aspek dibahas di dalamnya mulai terkecil hingga yang besar. Selain sebagai pedoman hidup, Alquran ini juga sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Salah satu cara untuk mengetahui atau merasakan secara langsung kemukjizatan Alquran ini adalah dengan cara melihat keindahan bahasanya yang tidak tertandingi, dan untuk bisa mengkaji bahasa Alquran yang indah ini membutuhkan beberapa ilmu bantu diantaranya nahwu, shorof, dan balaghoh.
            Bisa dikatakan ilmu balaghoh ada karena adanya Alquran. Karena memang sampai saat ini Alquran lah satu satunya yang menggunakan bahasa paling indah, dan tiada tandingannya. Ilmu balaghoh tidak lain membahas stilistika bahasa atau sederhananya membahas tentang gaya keindahan bahasa. Jadi memang Alquran inilah yang cocok menjadi objek pertama kajian balaghoh disamping syair-syair, qosidah-qosidah dan lainnya.
            Kali ini penulis hanya akan sedikit membahas tentang salah satu kebalaghohan yang ada di dalam Alquran, yaitu majaz mursal musababiyah. Sederhananya majaz mursal musababiyah ini adalah “kalimat yang dengan sengaja digunakan untuk makna yang bukan aslinya dengan menggunakan hubungan musababiyah (menyebutkan akibat dan tidak menyembunyikan sebabnya)”. Contohnya yang terdapat dalam surat Al Ghafir ayat 13:
....وينزّل لكم من السماء رزقا....
Dan Allah menurunkan rizki dari langit untuk kalian
Di dalam ayat ini menyebutkan bahwa Allah menurunkan rizki dari langit untuk manusia. Sebenarnya bukan rizki yang Allah turunkan dari langit, akan tetapi hujan yang turun dari langit, yang kemudian dari hujan tersebut dapat mendatangkan rizki entah berupa tanaman subur hingga berbuah, air sumur tidak kekeringan, padi di sawah menjadi subur yang akhirnya panen besar dan mendapatkan uang, dan lain lainnya. Karena tidak mungkin Allah secara langsung menurunkan rizki berupa buah-buahan atau uang dari langit sekaligus.
Bagaimana? Indah bukan? Bahasa Alquran dengan kebalaghohannya. Ternyata bukan sekedar keindahan saja yang ada dalam penggunakan majaz mursal musababiyah di dalam ayat ini, masih ada makna lain di balik penggunaan kalimat rizki bukan kalimat hujan di sini.
Jadi, jika diilustrasikan seperti ini. Seandainya di dalam ayat tadi menggunakan kata hujan bukan kata rizki. Ketika hujan itu turun dan justru menyebabkan banjir, mungkin sebagian dari kita akan ada yang menyalahkan Allah karena di dalam ayat disebutkan bahwa Allah-lah yang menurunkan hujan. Tapi nyatanya, di dalam ayat tadi disebutkan bahwa yang Allah turunkan itu rizki bukan hujan. Jadi kalau hujan turun lalu banjir, itu kan bukan rizki, ya berarti bukan Allah yang menurunkannya. Jadi kalo banjir itu terjadi ya karena kesalahan manusianya sendiri.
Coba kalian kaitkan kasus ini dengan surat Ar Rum ayat 41 yang artinya: “telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,,,”. Dan surat An Nisa ayat 79 yang artinya: “kebajikan apapun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apapun yang menimpamu itu kesalahan dirimu sendiri,,,”. Sudah semakin jelas bukan jika ditambah dengan kedua ayat ini yang masih ada keterkaitan dengan kasus banjir karena hujan tadi. Jadi kalo hujan terus banjir ya jangan sepihak menyalahkan Allah, ngaca dulu, pasti ada yang salah pada diri kita, entah itu membuang sampah sembarangan, membangun gedung-gedung di tempat saluran air, tidak mau menjaga sungai selalu bersih, atau yang lainnya. Toh kalau mau menyalahkan Allah yang telah menurunkan hujan, ayat di atas tadi kan sudah menyebutkan bahwa yang Allah turunkan rizki bukan hujan. Jadi, yuk mari kita perhatikan lagi sampah-sampah kita, saluran pembuangan air kita, agar tidak lagi terjadi banjir.

Dikutip dari pengajian Jawahir al-Balaghoh oleh Prof. Dr. K.H. D. Hidayat, MA.

Wednesday, June 6, 2018




            Pada kesempatan kali ini, di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, saya akan sedikit membahas tentang surat Al Qadar. Kebetulan sekali bukan, surat yang membahas malam lailatul qadar di dalamnya, yang menjadi dambaan para pemburunya, saya bahas di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi tulisan kali ini tidak akan membahas tentang seputar malam lailatul qodarnya atau membahas isi surat Al Qadar, yang akan dibahas di sini adalah kalimat tanazzalu di ayat ke 4.
            Sekarang mari kita fokus ke titik pembahasan kita yaitu kalimat tanazzalu. Penulis memberi judul tulisan ini; tanazzalu madhikah atau mudhorikah. Karena berangkat dari keterkecohan diri penulis sendiri menganggap kalimat tanazzalu sebagai fiil madhi yang mengikuti wazan tafa’ala(تَفَعَّلَ) . Tetapi setelah dilihat lagi bunyi kalimatnya bukan tanazzala melainkan tanazzalu, sedangkan apabila mengikuti wazan tsulasi mazid biharfain tadi seharusnya menjadi tanazzala(تَنَزَّلَ) . Lalu kalimat tanazzalu ini sebenarnya fiil madhi atau bukan?
            Ternyata teman-teman. Tanazzalu ini bukanlah fiil madhi melainkan fiil mudhori, karena jika madhi seharusnya berbunyi tanazzala, tetapi di sini berbunyi tanazzalu. Akan tetapi jika memang tanazzalu ini mudhori, mengikutinya wazan apa? Tanazzalu fiil mudhori mengikuti wazan yatafa’alu(يَتَفَعَّلُ) . Tetapi antara tanazzalu dan wazan yatafa’alu ternyata tidaklah sesuai. Karena memang di dalam kalimat tanazzalu ini asal sebenarnya adalah tatanazzalu(تَتَنَزَّلُ) , yang kemudian huruf mudhoroahnya yang berupa ta’ dibuang karena mengikuti salah satu qoidah shorof yang membolehkan pembuangan huruf mudhoroah yang berupa ta’ di dalam wazan tafaa’ala(تفاعل)  dan tafa’’ala(تفعّل) . Pembuangan ta’ ini dibolehkan karena alasan untuk meringankan dalam pelafalan. Bagi orang Arab mengucapkan dua huruf yang sama yang berdampingan itu susah dan berat (seperti menggapai cintamu *ehh). Makanya pembuangan ta’ mudhoroah di sini diperbolehkan.
            Jadi, tanazzalu itu bukanlah fiil madhi melainkan mudhori yang asalnya tatanazzalu. Yang menyimpan dhomir muannast hiya dan marji’ dhomirnya ke kalimat al malaikah yang berbentuk muannast karena terdapat ta’ marbuthoh.
            Akan tetapi teman-teman. kalimat tanazzal ini bukan hanya terdapat di surat Al Qadar saja, ada juga di dalam surat Fussilat ayat 30, yang berbunyiتَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلآئِكَة  (tatanazzalul ‘alaihimul malaaikah). Berbeda memang dengan yang tertulis di surat Al Qodar. Jika di dalam surat Al Qodar ta' mudhoroah fiil tatanazzalu itu dibuang, di dalam surat Fussilat ini justru tidak dibuang. Memang sih pembungan ta’ ini hukumnya boleh, jadi boleh dibuang boleh tidak. Tetapi apa perbedaannya antara tatanazzalu di surat Al Qadar yang dibuang ta’ mudhoroahnya dengan tatanazzalu di surat Fussilat yang tidak dibuang ta’ mudhoroahnya.
            Tentunya bukan tidak ada alasan kedua perbedaan ini, dan inilah salah keindahan dan keistimewaan Al Quran. Kalimat tanazzalu maupun tatanazzalu, keduanya mempunyai makna yang sama yaitu turunnya Malaikat ke bumi. Karena kalimatnya berbeda maka sebenarnya di dalam maknanya pun ada perbedaannya. Tatanazzalu di dalam surat Fussilat mempunyai makna turunnya Malaikat ke bumi yang tidak hanya sekali melainkan setiap saat ketika telah datang ajal setiap orang yang ada di bumi. Sedangkan tanazzalu di dalam surat Al Qadar mempunyai makna turunnya Malaikat ke bumi hanya sekali yaitu di malam lailatul qodar saja. Dan hal ini sesuai dengan qonun ta’biriy di dalam Al Quran, yang menyatakan memotong atau membuang salah satu huruf pada fiil jika ahdast (kejadiannya) lebih sedikit atau lebih pendek dan jika ahdastnya (kejadiaannya) lebih banyak atau lebih panjang maka fiil tadi ditulis secara sempurna tanpa ada yang dibuang. Kurang lebih demikianlah perbedaan yang diketahui oleh penulis. والله أعلم بالصواب
            Oleh karenanya marilah kita berlomba-lomba meraih malam lailatul qodar ini yang malaikat hanya turun sekali di malam itu saja. Semoga kita semua bisa mendapatkan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu, aamiinn.
            

refrensi:
Muhammad Ali Shobuni, Showah al Tafasir
Muhammad Arrozi, Mafatih Al Ghoib
Muhyiddin Ad Darwish, I'rob Al Quran Al Karim Wa Bayanuhu
www.al-sharq.com
www.ammonnews.net

Monday, May 7, 2018






            Kitab ini berjudul Al Mu’jam fi Al I’rob yang disusun oleh Umar Taufiq Supraga dan Muhammad Banis. Berbeda dengan kitab-kitab mu’jam yang lain, kitab mu’jam yang ini bukan membahas kosa kata atau biasa disebut dalam istilah perkamusan dengan nama lema biasa. Tetapi yang dibahas di dalam mu’jam ini adalah lema-lema yang berkaitan atau berhubungan dengan dunia nahwu atau i’rob, karena sesuai dengan namanya Al Mu’jam fi Al I’rob.
            Mu’jam ini tidak terlalu tebal seperti mu’jam-mu’jam lain pada umumnya. Al Mu’jam fi Al I’rob ini hanya terdiri dari 223 halaman isi, dan ukurannya pun hanya sekitar 20X10 cm. Urutan babnya tidak berbeda dengan mu’jam lain yang biasanya menggunakan urutan huruf hijaiyah pada umumnya, namun ada sedikit perbedaan, yaitu tambahan fawaid i’robiyah di bab terakhir setelah huruf ya’. Jadi di dalam fihris (daftar isi) terdapat 29 bab dari huruf alif hingga fawaid i’robiyah.
            Seperti sudah dijelaskan di awal, kosa kata atau lema yang terkandung di dalam mu’jam ini berbeda dengan mu’jam biasanya. Di dalam mu’jam eka bahasa ini (yang menggunakan satu bahasa saja, yaitu menerjemahkan atau menjelaskan bahasa Arab dengan bahasa Arab) memuat lema-lema yang khusus dan berbeda. Seperti contohnya di dalam bab huruf alif. Di sana terdapat “a” ( أَ ) yang selanjutnya ada beberapa suplema (menyebutkan arti atau penjelasan dari lema), suplema satu menjelaskan bahwa lema tadi adalah huruf istifham dilengkapi pengertian dan hukumnya dengan memberikan pula contohnya, seplema kedua menjelaskan bahwa lema tadi adalah huruf nida dengan susunan yang sama seperti suplema yang satu, dan seterusnya.
            Keistimewaan lain dari mu’jam ini selain ringkas dan padat, adalah bahasanya yang tidak bertele-tele, ringan, sederhana, dan mudah dipahami. Sehingga mempermudah bagi para penggunanya tentunya untuk memahami lema-lema yang terdapat di dalamnya. Selain itu masih ada keistimewaan yang lain, di dalam mu’jam ini terdapat beberapa kalimat yang dicetak dengan tinta merah. Hal ini dilakukan agar mempermudah pembaca dalam menghafal dan membaca langsung poin penting yang sudah ditulis dengan tinta merah tadi.
            Terakhir dari saya sendiri. Sangat merekomendasikan bagi para mahasiswa bahasa Arab atau para santri yang mengkaji kitab-kitab klasik berbahasa Arab untuk memiliki kitab Al Mu’jam fi Al I’rob ini. Bukan niat untuk promosi atau bagaimana, tetapi saya sendiri merasa sangat terbantu dengan adanya kitab ini, khususnya ketika sedang mengkaji mauqi’ al i’rob suatu kalimat bahasa Arab.

Wednesday, May 2, 2018




Bagi pelajar atau mahasiswa Bahasa dan Sastra arab, atau pendidikan Bahasa Arab, atau bahkan mungkin jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, dan semua jurusan-jurusan kebahasaan lainnya. Tentunya mempunyai kamus adalah suatu keharusan. Mengapa? Karena bagi pengkaji atau mahasiswa bahasa yang notabennya mengkaji dan mempelakari bahasa asing, seperti Bahasa Arab dan Inggris, tentunya membutuhkan alat bantu kebahasaan seperti kamus agar mempermudah proses belajar dan pengkajiannya.
Karena penulis sendiri adalah mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab, menurut penulis ada yang menarik dari dunia perkamusan sendiri dalam bidang kebahasa Araban. Bukan soal sejarah, macam, atau fungsinya. Akan tetapi soal namanya. Di dalam kebahasa Araban, selain istilah qomus kita juga mengenal istilah mu’jam. Nhahh,,, di sinilah topik pembahasan tulisan kali ini, yaitu akan sedikit membahas tentang perbedaan antara qomus dan mu’jam.
Kamus di dalam KBBI (kamus besar Bahasa Indonesia) mempunyai beberapa pengertian, diantaranya adalah; buku acuan yang memuat kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut keterangan tentang makna, pemakaian, atau terjemahannya. Adapun mu’jam sendiri tidak termaktub di dalam KBBI. Karena memang mu’jam sendiri adalah Bahasa Arab bukan Bahasa Indonesia, berbeda dengan kamus yang diserap dari qomus, dan sudah menjadi Bahasa Indonesia.
Jika tadi sudah menukil pengertian kamus dari KBBI yang notabennya Bahasa Indonesia, sekarang kita akan merujuk ke Bahasa Arab. Qomus secara bahasa mempunyai makna laut yang dalam, berasal dari kata qo-ma-sa yang artinya juga mencelupkan (ke dalam air) atau tenggelam. Dalam dunia leksikografi (perkamusan) Bahasa Arab, Abu Thohir Muhammad bin Ya’qub bin Ibrohim Al Fairuz Abadi atau yang masyhur dengan sebutan  Alfairuz Abadi telah menyusun sebuah kamus Bahasa Arab dengan menggunakan istilah qomus, yaitu Al Qomus Al Muhith.
Ulama-ulama bahasa zaman dahulu memang banyak menggunakan istilah-istilah laut sebagai nama karangannya, buka hanya Fairuz saja yang menggunakan istilah laut pada karangannya Al Qomus Al Muhith, Ibnu Ubad juga menggunakan istilah laut pada karangannya yang berjudul Al Muhith fi Al Lughoh.
Karena Al Qomus Al Muhith karya Fairuz ini disusun dengan sangat apik dan mudah digunakan, dan mencapai 20.000 kosa kata lebih dengan penjelasan yang tidak bertele-tele, serta dilengkapi juga dengan contoh-contoh, sehingga sering dijadikan rujukan oleh ulama-ulama lughoh akhirnya menjadi tenar dan masyhur pada masa itu. Sehingga menimbulkan pergeseran makna qomus yang tadinya hanya mempunyai makna laut yang dalam kini juga mempunyai makna segala bentuk kamus kebahasaan.
Sedangkan mu’jam secara bahasa musytaq dari a’jama yang mempunyai makna orang asing atau orang non arab. Sedangkan secara istilahnya adalah kitab atau buku yang mengampu sekian banyak kosa kata bahasa yang tersusun secara khusus sesuai dengan sistematis dan metodenya masing-masing. Pengertian lainnya adalah kumpulan kosa kata bahasa yang disertai penjelasan maknanya dan pecahan atau cabang-cabangnya dan cara pengucapannya serta penjelasan penggunaannya.
Ada perbedaan pendapat siapa yang pertama kali menggunakan kata mu’jam ini. Pendapat pertama mengatakan orang yang pertama kali menggunakan kata mu’jam ini adalah Abu Qosim Abdullah bin Muhammad Al Baghowi di dalam karangannya yang berjudul Al Mu’jam Al Shoghir dan Al Mu’jam Al Kabir. Pendapat lain, menurut Abdul Ghofur Atthar, orang yang pertama kali menggunakan kata mu’jam adalah Abu Ya’la At Tamimi dalam karyanya Mu’jam Al Shohabah.
Kedua karya tadi yang menggunakan kata mu’jam, semuanya adalah kitab tentang ilmu rijalul hadis. Dan dengan seiring perkembangan zaman, istilah mu’jam pun digunakan sebagai nama karya atau kitab kebahasaan yang mengumpulkan kosa kata disertai makna dan penjelasannya. Seperti Mu’jam Al Ain karya Kholil bin Ahmad (tokoh pencetus leksikografi Arab) dan Mu’jam Lisan Al Arab karya Ibnu Mandhur (kamus bahasa terlengkap hingga saat ini).
Menurut Dr. Ibrohim As Samironi penggunaan kata mu’jam-lah yang lebih tepat, karena menurutnya kata qomus ini sebenarnya adalah nama karya Fairuz saja, sedangkan mu’jam lebih tepat digunakan untuk menunjukan karya-karya leksikografi atau perkamusan lainnya. Dr. Abdul Ali Alwadghiri juga berpendapat bahwa qomus mempunyai makna seluruh kitab atau karya yang bertujuan sebagai pendidikan dan budaya. Adapaun mu’jam adalah kumpulan satuan-satuan perkamusan yang tidak terbatas atau terbatas yang dimiliki oleh suatu kaum bahasa tertentu dengan penjelasannya yang detail dan rinci.
Dari sini bisa kita simpulkan, bahwasanya mu’jam adalah kumpulan kosa kata yang terbatas atau tak terbatas berikut dengan penjelasan maknanya yang masih dalam bahasa yang sama, dan metode penyusunnya bermacam-macam. Sedangkan qomus adalah kumpulan unit kosa kata dengan metode yang sesuai atau tertentu dan disertai dengan penjelasan bahasa yang sama atau bahasa asing, dan kebanyakan metode penyusunannya sesuai urutan abjad.

Total Pageviews

Powered by Blogger.

search

Buku (Prediksi) SPMB UIN Jakarta 2021

  SPMB Mandiri atau Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Mandiri, adalah salah satu jalur yang mempunyai kuota paling besar untuk masuk UIN Jak...

About

Aghnin Khulqi adalah seorang mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab semester 6 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Popular Posts