Dipandang dari sudut linguistik, manusia tidak lahir bebas. Ia
mewarisi suatu bahasa yang penuh dengan ungkapan-ungkapan pelik, kata-kata kuno
dan tata bahasa yang membosankan; bahkan lebih penting lagi, ia mewarisi
cara-cara mapan tertentu dalam berbicara yang mungkin membelenggu
pikiran-pikirannya.[1]
Dan hal ini tentunya ada kaitannya atau berhubungan dengan antara bahasa dan
budaya.
Berbicara mengenai bahasa dan budaya. Ada pelbagai teori mengenai
hubungan bahasa dan budaya, ada yang
mengatakan bahasa itu bagian dari budaya, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa
bahasa dan budaya adalah dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang
erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada juga yang mengatakan bahwa bahasa
sangat dipengaruhi oleh budaya, sehingga segala hal yang ada dalam budaya akan
tercermin di dalam bahasa. Ada juga yang mengatakan sebaliknya, yaitu budaya
sangat dipengaruhi oleh bahasa, bahkan bahasa juga mempengaruhi cara berpikir
manusia atau masyarakat penuturnya.[2]
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian tentang bahasa dan budaya?
2. Bagaimana
hubungan antara bahasa dan budaya?
C. Penyelesaian Masalah
Menjelaskan
pengertian dari bahasa dan budaya, kemudian menjelaskan bagaimana hubungan
antara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bahasa
Kata bahasa dalam
bahasa Arab adalah al-lughoh. Dalam Mu’jam at-Takrifat,
memiliki makna ما يعبر بها كل قوم عن أغراضهم ,[3]
yaitu alat yang digunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan apa yang
diinginkan manusia.
Kata bahasa dalam bahasa Indonesa memiliki lebih dari satu makna
atau pengertian, sehingga seringkali membingungkan. Untuk lebih jelasnya coba
perhatikan dalam kalimat-kalimat di bawah ini.
1. Dika belajar bahasa Inggris, Nita belajar bahasa Jepang.
2. Manusia mempunyai bahasa, sedangkan bianatang tidak.
3. Hati-hati bergaul dengan anak yang tidak tahu bahasa itu
4. Dalam kasus itu ternyata lurah dan camat tidak mempunyai bahasa
yang sama.
5. Pertikaian itu tidak bisa diselesaikan dengan bahasa militer.
6. Kalau dia memberi kuliah bahasanya penuh dengan kata daripada
dan akhiran ken.
Kata bahasa pada
kalimat (1) jelas menunjuk pada bahasa tertentu. Jadi, menurut persitilahan de
Saussure adalah sebuah langue. Pada kalimat (2) menunjuk pada bahasa
pada umumnya; jadi, suatu langage. Pada kalimat (3) kata bahasa berarti
sopan santun. Pada kalimat (4) kata bahasa berarti kebijaksanaan dalam
bertindak. Pada kalimat (5) bahasa berarti ‘dengan cara’. Pada kalimat (6) kata
bahasa berarti ujarannya yang sama dengan parole. Dari keterangan di
atas bisa disimpulkan hanya pada kalimat (1) (2) (6) saja kata bahasa itu
digunakan secara harfiah, sedangkan pada kalimat lain digunakan secara kias.[4]
Pengertian atau definisi bahasa juga bisa kita
dapat dari hakikat atau penjabaran ciri dan sifat dari bahasa itu sendiri. Jika
di jabarkan, salah satu sifat atau ciri dari bahasa antara lain:
1. Bahasa itu sebuah sistem
2. Bahasa itu berwujud lambang
3. Bahasa itu berupa bunyi atau suara
4. Bahasa itu bersifat arbiter (acak)
5. Bahasa itu mempunyai makna di dalamnya
6. Bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial dan
berkomunikasi
Jika disimpulkan
dari penjabaran diatas. Bahasa dapat diartikan sebagai sistem lambang bunyi
yang bersifat arbiter, yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi dan berinteraksi
dengan sekitarnya.[5]
B. Pengertian Budaya
Muhammad Afifudin Dimyathi memberikan pengertian budaya dalam
bukunya;
والثقافة كما يعرفها علماء الاجتماع وعلم الإنسان وعلماء التربية هي
جميع ما أنتجه العقل الإنساني، وعاش به أوله. ويشمل ذلك اللغة والدين والعادات
والتقاليد والأزياء وأنواع المباني والمواصلات
Pengertian budaya menurut para ahli sosiolog dan ilmu antropologi
dan para ilmuwan pendidikan adalah segala sesuatu yang dibuat atau diciptakan
oleh akal manusia, dan awalya manusia hidup dengannya. Hal ini mencangkup
diantaranya bahasa, agama, adat istiadat, tradisi, fashion (gaya berpakaian),
dan gaya arsitektur dan transportasi.
Dalam bukunya,
Afifudin juga mengutip pengertian budaya menurut Robert.
إن الثقافة هي ذلك الكل المركب الذي يتألف من كل ما نفكر فيه، أو نقوم
به، أو نتملكه كأعضاء في مجتمع
Budaya adalah kumpulan dari segala sesuatu yang dibuat berdasarkan
apa yang kita pikirkan, atau apa yang kita lakukan atau apa yang kita miliki
sebagai anggota masyarakat.[6]
Tylor juga
memberikan definisi budaya. Menurutnya budaya adalah suatu keseluruhan rumit
yang mencangkup bidang-bidang pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral,
adat istiadat, serta kebiasaan dan kemampuan lain yang diperoleh oleh seseorang
sebagai anggota masyarakat.[7]
Kalau kita membuka
buku-buku antropologi dan buku-buku tentang kebudayaan, maka akan menemukan
definisi yang berbeda-beda. Perbedaan ini terjadi karena biasanya penyusun
melihat budaya itu dari aspek yang berbeda. Kroeber dan Kluckhom telah
mengumpulkan puluhan definisi dari budaya dan mengelompokkannya menjadi enam
golongan menurut sifat definisi itu. Yaitu definisi diskriptif, definisi
yang menekankan pada unsur-unsur kebudayaan. Definisi historis, definisi
yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan. Definisi normatif,
definisi yang menekankan hakikat kebudayaaan sebagai aturan hidup dan
tingkah laku. Definisi psikologis, definisi yang menekankan pada
kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan
persoalan, dan belajar hidup. Definisi struktural, definisi yang
menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur.
Definisi genetik, definisi yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai
hasil karya manusia.[8]
Tanpa melihat
bagaimana rumusan definisi-definisi yang dikumpulkan satu persatu itu sudah
dapat diketahui dari pengelompokan itu bahwa kebudayaan itu melingkupi semua
aspek dan segi kehidupan manusia. Lalu, kalau dilihat dari definisi genetik,
maka bisa dikatakan apa saja perbuatan manusia dengan segala hasil dan
akibatnya adalah termasuk dalam konsep kebudayaan. Ini memang berbeda dengan
konsep kebudayaan yang tercangkup dan diurus oleh Direktorat Jendral Kebudayaan
yang ada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, sebab yang diurus oleh
Direktorat tadi hanyalah yang berkaitan dengan kesenian, dan tidak mengurusi
pekerjaan dan hasil pekerjaan lain, seperti bidang ekonomi, teknologi, hukum
dan lain-lain.[9]
Koentjaraningrat
mengungkapkan, bahwa kebudayaan hanya dimiliki oleh manusia dan tumbuh bersama
dengan berkembangnya masyarakat manusia. Untuk menjelaskannya, Koentjaraningrat
menggunakan sesuatu yang disebut “kerangka kebudayaan” yang memiliki dua aspek,
yaitu wujud kebudayaan dan isi kebudayaan. Dalam hal ini wujud kebudayaan dapat
dijelaskan adanya a) wujud gagasan; sistem budaya yang bersifat abstrak; b)
perilaku; sistem sosial yang bersifat konkrit; dan c) fisik atau benda,
kebudayaan fisik bersifat sangat konkrit.
Lebih jauh
dijelaskan Koentjaraningrat, bahwa isi kebudayaan terdiri atas tujuh unsur yang
bersifat universal, maksudnya ketujuh unsur tersebut terdapat dalam setiap
masyarakat kebudayaan manusia yang ada di dunia. Ketujuh unsur itu adalah
bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi,
organisasi sosisal, sistem pengetahuan, sistem religi, dan kesenian.[10]
C. Hubungan antara Bahasa dan Budaya
Secara garis besar
hubungan antara bahasa dan budaya ada dua jenis, yaitu koordinatif dan
subordinatif. Koordinatif adalah adanya hubungan sederajat atau yang
kedudukannya sama tinggi antara bahasa dan budaya. Dan subkoordinatif adalah
bahasa berada dibawah lingkungan budaya, atau bahasa itu adalah bagian dari
budaya.
Berbicara mengenai
hubungan koordinatif, banyak pendapat para tokoh mengenai hubungan antar bahasa
dan budaya. Diantaranya adalah dua tokoh dari Barat, yaitu Edward Sapir dan
Benjamin Lee Whorf yang terkenal dengan nama hipotesis Edward-Whorf.
Edward Sapir
(1884-1939) adalah seorang linguis Amerika yang sangat dihormati dan disegani.
Dia juga sangat memhami konsep-konsep linguistik yang dikemukakan sarjana-sarjana
Eropa. Benjamin Lee Whorf (1897-1941) adalah salah seorang murid Edward. Pada
mulanya dia bukanlah seorang profesional dalam kajian linguistik, tetapi
kemudian giat mempelajari linguistik dan memberikan pendapat-pendapatnya yang
telah memperkaya pikiran-pikiran mengenai dunia linguistik. Dia dan gurunya
telah banyak mempelajari linguistik dan menuliskan hasil penelitiannya secara
luas.[11]
Di dalam
hipotesisnya, mereka memaparkan bahwa bahasa dapat mempengaruhi prilaku dan
budaya seseorang. Menurutnya manusia tidak hidup di pusat keseluruhan dunia,
namun hanya disebagainnya, bagian yang diberitahukan oleh bahasanya. Manusia
sangat bergantung dan dipengaruhi oleh bahasa tertentu yang menjadi medium dan
sarana ekspresi. Oleh karena itu dunia rilnya sebagian besar secara tidak
disadari dibangun atas kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok. Bagi Edward dan
Whorf bahasa menyediakan suatu jaringan
jalan yang berbeda bagi setiap masyarakat, yang sebagai akibatnya, memusatkan
diri pada aspek-aspek tertentu realitas.[12]
Edward dan Whorf
mengeluarkan pendapat bahwa bahasa-bahasa Amerika pribumi, seperti Hopi membuat
mereka memandang dunia dengan cara yang berbeda dari mereka yang menggunakan
bahasa Eropa. Menurut Whorf, bahasa Hopi melihat dunia dengan cara yang berbeda
dengan suku lain karena bahasa mereka bahasa mereka membuat sikap mereka
demikian. Dalam tata bahasa Hopi, ada pembedaan antara animate (hidup)
dan inanimate (tidak hidup), dan diantar serangkaian entitas yang
dikategorikan sebagai hidup misalnya awan dan batu. Whorf mengklaim bahwa suku
Hopi percaya bahwa awan dan batu merupakan entitas hidup dan bahwa bahasa
merekalah yang membuat mereka meyakini hal tersebut.[13]
Edward dam Whorf
juga menyatakan bahwa bahasa tidak hanya menetukan corak budaya tetapi juga
menentukan cara dan jalan berpikir manusia sehingga memengaruhi pula tingkah
lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain
akan mempunyai corak budaya dan jalan berpikir yang berbeda pula.
Contohnya seperti
orang barat yang selalu terikat dengan tenses atau waktu (p.m. dan
a.m.). pada musim panas pukul 21:00 p.m. matahari masih bersinar dengan terang
tetapi anak-anak disana sudah disuruh tidur karena sudah kebiasaan bahwa
menganggap jam 21:00 p.m. sudah malam. Sedangkan pada pukul 01:00 a.m. meskipun
masih gelap gulita, bila ketemu mereka sudah akan saling menyapa dengan ucapan
selamat pagi. Karena katanya hari sudah pagi.
Sebaliknya bagi
orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala atau waktu, maka
mereka kurang memperhatikan waktu. Suatu acara yang sudah terjadwalkan tak
jarang akan mundur satu atau dua jam kemudian. Kalau dibawakan kebudayaan
Minangkabau uang filosofi budayanya adalah “adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah” yang masyarakatnya terikat dengan agama islam.
Kewajiban orang Islam adalah sholat lima waktu. Sehubungan dengan itu,
kecenderungan orang Minangkabau untuk menentukan pertemuan adalah bakda isya’,
bakda magrib, bakda dhuhur, bakda asar, dan lainnya. Sebagai contoh bakda asar
tentu waktunya panjang , sampai sebelum magrib pun masih bisa diartika bakda
asar. Oleh karena itu orang Indonesia tak jarang kurang memperhatikan waktu.[14]
Orang yang
mengikuti pendapat Edward dan Whorf ini tidak banyak. Karena sejak semula orang
meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu, kemudian diketahui
bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajiannya. Meskipun
demikian masih ada juga beberapa sarjana yang secara prinsip dapat membenarkan
pendapat tersebut.
Misalnya pendapat
Edward-Whorf ini diterima maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat
jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia itu mempunyai satu jalan pikiran.
Dalam ilmu pengetahuan seperti yang telah di kemukaan oleh Masinambouw, bahasa
itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran. Suatu pikiran
yang dinyatakan dengan berbeda-beda tidaklah akan menjadi berbeda-beda, pikiran
itu akan tetap sama. Hanya, karena bahasa itu bersifat unik, maka rumusannya
mungkin menjadi tidak sama. Bandingkan orang Inggris menanyakan nama dengan
kalimat “what is your name?” sedangkan orang Indonesia dengan kalimat “siapa
namamu?”. Jadi, dengan kata lain, bahasa tidak mempengaruhi jalan pikiran,
apalagi menentukan seperti yang dinyatakan oleh hipotesis Edward-Whorf.
Berbeda dengan
pendapat Edward-Whorf, Silzer mengatakan bahwa bahasa dan budaya seperti dua
anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem
bahasa dan sisi yang lain berupa sisten budaya, maka apa yang tampak dalam
budaya akan tercermin dalam bahasa, dengan kata lain secara tidak langsung
budaya yang mempengaruhi bahasa.
Sebagai contohnya
bangsa eropa hanya mengenal satu nama nasi, yaitu rice. Hal ini
dikarenakan bangsa Eropa tidak terlalu terbiasa dengan makan nasi. Berbeda
dengan Indonesia yang mayoritas masyarakatnya mengonsumsi nasi sebagai makanan
pokok. Maka di Indonesia mempunya nama lain nasi, diantaranya mulai dari padi,
gabah, beras, dan nasi. Contoh lain bangsa Eropa akrab dengan olahraga berkuda,
maka di sana ada beberapa nama lain kuda, diantaranya, horse, colt, stallion,
pony, dan mare. Sedangkan di Indonesia hanya memiliki satu nama untuk kuda.[15]
Contoh lain di
dalam negeri, misalnya seperti bahasa jawa. Bahasa jawa orang-orang Solo atau
Jogja cenderung lebih halus daripada bahasa jawa dari kota-kota lain. Hal ini
diakrenakan kebiasan mereka yang hidup di lingkungan sekitar keraton Solo dan
Jogja.
Berbicara tentang
hubungan subkoordinatif antara bahasa dan budaya. Hal ini telah dipaparkan oleh
Koentjaraningrat, yaitu bahasa dibawah lingkungan kebudayaan, yang telah
menjadi salah satu dari tujuh unsur isi kebudayaan.
Menurut Nababan
bahasa sebagai suatu sistem komunikasi merupakan suatu bagian atau sub sistem
dari sistem kebudayaan. Namun, bahasa merupakan bagian inti dan terpenting dari
kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan, paling minim dengan
cara mempunyai nama atau istilah bagi unsur-unsur dari semua aspek kebudayaan.
Hal yang lebih penting dari itu adalah kebudayaan manusia tidak akan dapat
terjadi tanpa adanya bahasa karena bahasa merupakan faktor yang memungkinkan
terbentuknya kebudayaan. Bagaimana mungkin unsur-unsur kebudayaan dapat
berkembang seperti pakaian, rumah, tarian tanpa adanya bahasa. Jadi, bahasa
adalah sine quq non (yang mesti ada) bagi kebudayaan dan masyarakat
manusia.[16]
Muhammad Afifudin Dimyathi, dalam bukunya
Madkhol Ila Ilmu al-Lughoh al-Ijtimai’ menjelaskan hubungan bahasa yang secara
hakiki termasuk bagian dari budaya itu dipengaruhi dari berbagi segi. Diantara
dari segi lingkungan, sistem kekerabatan, perubahan sosial, perubahan kosa kata
kamus dan perubahan kebudayaan.[17]
Hubungan bahasa
dengan budaya dari segi lingkungan, seperti yang sudah dijeaskan, contohnya
masyarakat Indonesia yang mempunyai banyak nama untuk nasi. Sedangkan di Eropa
dan Arab hanya mempunyai satu nama yaitu rice dan . الرزّ
Hubungan bahasa
dengan budaya dari segi kekerabatan bisa dilihat dari perbedan antara orang
Eropa dan Arab. Orang Eropa tidak terlalu memperhatikan dengan detail terhadap
hubungan kekerabat akau sisilah kekeluargaan, berbeda dengan orang Arab yang
sangat memperhatikan nasab (silsilah keuarga). Oleh karenanya kalau di Eropa
nama lain dari paman dan bibi hanya uncle dan aunt. Berbeda
dengan Arab yang mempunya banyak istiah untuk paman dan bibi, ada .( العم للأب ) الخال ,
( العم للأم ) الخال , ( العمة للأب ) العمة , ( العمة للأم ) الخالة
Hubungan bahasa
dengan budaya dari segi perubahan sosial dapat dilihat dari istilah-istilah
yang baru, yang muncul karena dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi. Seperti
munculnya istilah mobile dan supermarket.
Hubungan bahasa
dengan budaya dari segi perubahan kosa kata kamus dan perubahan budaya, dapat kita lihat dari
istilah-istiah baru yang terdaftar di KBBI. Contohnya seperti kata swafoto,
saltik, gawai.[18]
Kata swafoto ini menggantikan dari istiah selfi, sedangkan saltik menggantikan
istilah typo, dan gawai menggantikan istilah gadget. Bila diperhatikan
kata-kata baru dalam KBBI ini muncul karena adanya perubahan sosial pada
masyarakat. Zaman sekarang, kehidupan masyarakat tidak bisa terlepas dari
gadget dan lain sebagainya, oleh karenanya istilah-istilah ini muncul di KBBI.[19]
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Hubungan antara
bahasa dan budaya sangatlah erat dan tidak dapat dipisahkan. Bahasa bisa
dikatakan bagian dari budaya sebagaimana seperti kesimpulan dari Kroeber dan
Kluckhom menegenai pengertian budaya, dan sebagaimana paparan dari Koentjoroningrat
dan Nababan.
Hubungan lain
antara bahasa adalah bahwa bahasa dapat mempengaruhi budaya sebagaimana paparan
hipotesis Edward-Whorf. Dan sebaliknya, yaitu budayalah yang mempengaruhi
bahasa seperti paparan dari Silzer yang didukung banyak kalangan.
Oleh karenanya
bahasa dan budaya ini saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi satu sama
lain, dan tentunya sangat sulit untuk dipisahkan. Bahasa yang baik, akan
membentuk budaya yang baik, dan budaya yang baik akan tercermin dari bahasa
baik.
Daftar Pustaka
Al-Jurjani, Ali
Muhammad. 1413. Mu’jam at-Takrifat. Dubai:Dar al-Fadhilah
Aslinda. Leni
Syafyahya. 2014. Pengatar Sosiolinguistik. Bandung:Refika Aditama
Chaer, Abdul.
2014. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta
Chaer, Abdul.
Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:PT
Rineka Cipta
Dimyathi, Muhammad
Afifudin. 2016. Madkhol Ila Ilm al-Lughoh al-Ijtima’i. Malang:Lisan
Arobi
Kompusiana.net
Mulyana, Deddy.
2006. Komunikasi Antar Budaya. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Yule, George.
2014. The Study of Language. Cambridge:Cambtidge University Press
[1] Dr. Deddy Mulyana, M.A., Komunikasi Antar Budaya,
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya:2006) h. 116
[2] Abdul Chaer, Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan
Awal, (Jakarta:PT Rineka Cipta: 2010) h. 162
[4] Abdul Chaer, Linguistik
Umum, (Jakarta:Rineka Cipta:2014) h.30-31
[5] Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta:Rineka
Cipta:2014) h.33
[6] Muhammad Afifudin
Dimyathi, Madkhol Ila Ilm al-Lughoh al-Ijtima’i, (Malang:Lisan
Arobi:2016) h.112
[7] Dra. Aslinda, M.hum., Dra.
Leni Syafyahya, M.Hum., Pengatar Sosiolinguistik, (Bandung:Refika
Aditama:2014) h.93
[8] Abdul Chaer, Leonie
Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta:PT Rineka Cipta:
2010) h.162-163
[9] Abdul Chaer, Leonie
Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta:PT Rineka Cipta:
2010) h.163
[10] Dra. Aslinda, M.hum.,
Dra. Leni Syafyahya, M.Hum., Pengatar Sosiolinguistik, (Bandung:Refika
Aditama:2014) h.93
[11] Abdul Chaer, Leonie
Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta:PT Rineka Cipta:
2010) h.166
[12] Dr. Deddy Mulyana, M.A.,
Komunikasi Antar Budaya, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya:2006) h.117-118
[13] George Yule,The Study
of Language, (Cambridge: Cambtidge University Press:2014)
[14] Dra. Aslinda, M.hum.,
Dra. Leni Syafyahya, M.Hum., Pengatar Sosiolinguistik, (Bandung:Refika
Aditama:2014) h.94-95
[15] Abdul Chaer, Leonie
Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta:PT Rineka Cipta:
2010) h.168-169
[16] Dra. Aslinda, M.hum.,
Dra. Leni Syafyahya, M.Hum., Pengatar Sosiolinguistik, (Bandung:Refika
Aditama:2014) h.96
[17] Muhammad Afifudin
Dimyathi, Madkhol Ila Ilm al-Lughoh al-Ijtima’i, (Malang:Lisan
Arobi:2016) h. 113
[18] Kompusiana.net, Selasa 28
Maret pukul 23:21
[19] Muhammad Afifudin
Dimyathi, Madkhol Ila Ilm al-Lughoh al-Ijtima’i, (Malang:Lisan
Arobi:2016) h.113-115
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteBagusss. Semoga bermanfaat ilmunya.
ReplyDeleteAmiin