Gaya Bahasa Al
quran
Al quran secara terus menurus menantang semua ahli kesusasteraan Arab
supaya mencoba ditandingi. Tapi tak seorang pun yang mampu menjawab tantangan
al quran. Mereka bahkan tidak sanggup menirunya, karena al quran memang berada
di atas puncak yang tak mungkin diungguli. Dan al quran memang bukan kalimat
manusia.
Karena demikian halnya maka wajar jika dalam kehidupan Islam dan mu’jizat
al quran membangkitkan berbagai penelitian. Itulah yang membuka jalan para
pakar untuk mengungkap segi balaghah (retorika) al quran dan gaya
bahasanya yang unik dalam merumuskan susunan kalimat untuk melukiskan sesuatu.[1]
Sejak al quran ini diturunkan, banyak ilmuwan yang berusaha mengungkap
keindahan bahasanya, seperti Abdul Qahir al-Jurjani (w. 1078 M), pengarang dua
buku monumental I’jazul Quran dan Asrar al-Balaghah.[2]
Dia adalah seseorang yang sangat kuat tanggap rasanya terhadap gaya bahasa al
quran, sehingga nyaris melampaui zamannya dalam mengenali keindahan sastra
Kitabullah al-Quran.[3]
Beliau juga dikenal sebagai pencetus ilmu balaghoh.
Al quran, dimana orang Arab lumpuh untuk menandinginya itu, sebenarnya
tidak keluar dari aturan aturan kalam
orang Arab, baik lafadz, huruf, maupun redaksinya. Tetapi al quran mempunyai
jalinan huruf-huruf yang serasi, ungkapan yang indah, redaksinya simpatik,
ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai
macam bayannya, baik dalam jumlah ismiyah dan fi’liyah, dalam nafi dan
isbatnya, dalam dzikir dan hadzfnya dalam tankir dan ta’rifnya, dalam taqdim
dan ta’khirnya, dalam ithnab dan ijaznya, dalam umum dan khususnya, dalam
muthlaq dan moqayyad, nash dan fatwanya, maupun dalam hal lainnya. Dalam
hal-hal tersebut dan yang serupa al quran telah mencapai tertinggi yang tidak
sanggup kemampuan bahasa manusia untuk menghadapinya. [4]
Menurut al Qadhi Abu Bakar al-Baqillani
keindahan susunan al quran mengandung beberapa aspek kemukjizatan,
diantaranya ada yang kembali kepada kalimat, yaitu bahwa susunan al quran
dengan berbagai wajah dan mazhabnya berbeda dengan sistem dan tata urutan yang telah
umum. Ia mempunyai redaksi yang khas dan berbeda dengan redaksi-redaksi kalam
biasa.
Dalam hal ini perlu dijelaskan cara-cara membuat kalam yang indah dan
teratur terbagi atas ‘arudl-‘arudl syair, kalam berwazan tanpa memperhatikan
qofiyah, kalam berimbang dan bersajak, berimbang dan berwazan tanpa sajak,
prosa yang dituntut ketepatan di dalamnya, kemanfaatan dan pemberian makna yang
dikemukakan dengan bentuk yang indah dan susunanya yang halus sekalipun wazannya
tidak seimbang. Dan kita tahu bahwa al quran tidak termasuk sajak dan tidak
pula tergolong syair. Karena berbeda dengan semua macam kalam dan uslub khithab
mereka jelaslah bahwa al quran keluar dari kebiasaan dan ia adalah mukjizat.
Inilah sifat-sifat khas yang ada dalam al quran secara global dan berbeda
dengan semuanya.[5]
Sebagaimana tadi disebutkan bahwa alquran mempunyai ciri khas, dan
berikut beberapa ciri khas bahasa al quran.
a.
Susunannya Yang Khas
Al quran ini memiliki ciri khas diantaranya terletak pada susunan
urutannya. Susunan al quran ini tidak mesti bersifat kronologis atau menurut
urutan subjek. Pada banyak surat al quran bahkan mencampur banyak subjek,
misalnya keimanan, ibadah, moral, dan hukum, dengan tujuan memperkuat
ajaran-ajaran dasarnya.
Ayat kursi (QS al-Baqarah 255) misalnya, yang menampilkan sifat-sifat
keagungan Allah datang setelah perintah kepada kaum beriman untuk menyedekahkan
sebagian hartanya sebelum tiba suatu hari dimana tidak ada harta maupun
persahabatan yang mampu menghindarkannya dari hadapan Allah, perintah sedekah
ini tepatya terdapat di ayat sebelumnya (QS al-Baqarah 254). Orang-orang yang
tidak memahami bagaimana al quran memaparkan tujuannya sendiri, mengritik hal
serupa ini sebagai kesimpangsiuran.[6]
Demikian pula dalam pembahasan tentang pemberian nafkah dalam perceraian, yang
sering kali desertai dengan kepahitan dan sifat kikir (QS al-Baqarah 237), al
quran tiba-tiba saja mengingatkan manusia untuk memelihara shalat dan berdiri
di depan Allah dengan penuh pengabdian di ayat selanjutnya, sebeblum
melanjutkan diskusi mengenai subjek semula. [7]
Seandainya al quran tersusun secara kronologis, tentulah ia akan menjadi
sebuah biografi atau catatan sejarah. Seandainya ia tidak mencampur
materi-materi berbeda, katakanlah mengenai Allah dan shalat dalam satu bab
terpisah, atau menyisipkan satu bab yang lain tentang membayar sedekah dan bab
ketiga tentang penyelesaian sengketa pernikahan, tentu ia akan memiliki
pengaruh yang kuat yang timbul sebagai akibat penggunaan tema-tema ini untuk
memperteguh pesan-pesannya di berbagai tempat.
Al quran bukan sebuah tesis akademik, melainkan kitab petunjuk dan
memiliki metode tersendiri dalam targhib (anjuran) dan tarhib (ancaman)
sehingga keduanya berjalan seimbang. Inilah ciri khas penting al quran. Dengan
demikian dapat anda temukan sesuatu yang
kontras dalam ayat al quraa, setiap kali ia berbicara tentang surga dan pahala
untuk orang-orang sholeh, selalu didampingi dengan penyebutan neraka dan azab
bagi para pelaku kejahatan. Karena al quran mengakui bahwa akan selalu ada
orang yang berbuat baik maupun orang berbuat jahat.
Meskipun al quran tidak ditulis dalam bentuk sebuah naskah yang
disunting, dan Nabi pun tidak ikut campur dalam susunannya yang telah
ditetapkan Allah, misalnya dengan menambah kalimat penyambung, namum hubungan
antara ayat-ayat di dalam setiap surat dapat dipahami dengan mudah dalam bahasa
Arab, entah dengan kata sambung pendek atau kata ganti, atau dengan mengulangi
kata-kata tertentu yang merujuk kepada ayat sebelumnya, atau dengan
menyingkatnya, atau dengan memberikan contoh.[8]
Demikianlah ciri khas susunan al quran yang berbeda dengan teks biasa
lainnya. Al quran ini berbeda susunannya dengan yang lain karena memang yang
menyusun al quran adalah Allah langsung tanpa bantuan campur tangan manusia,
sekalian Rasul.
b.
Majaz dan Kinayah
Pengerti majaz adalah lafadz yang digunakan pada selain arti yang
ditetapkan karena adanya pesesuaian serta qorinah (tanda) yang menunjukan untuk
tidak menghendaki makna aslinya.[9]
Disini kita akan membahas tentang majaz dalam al quran. Majaz ada
berbagai macam, diantaranya majaz ‘aqli (kalimat figuratif yang
rasional), yang dalam susunan kalimat ada kaitannya dengan bentuk musyabahah.
Kemudian majaz lughowi (kalimat figuratif yang linguistik), yaitu
penggunaan kata bukan menurut makna bahasanya dan banyak terjadi pada kata-lata
mufrod (singular). Disini tidak akan membahas secara rinci majaz-majaz tadi,
karena hal itu bisa kita dapatkan di ilmu balaghoh, disini akan mengikuti
beberapa ayat yang kemudian akan di bahas dan dikemukakan mengenai persoalan
majaz tadi.
Diantara jenis majaz aqli ada yang kedua sisinya berlainan, yakni sisi
yang satu berupa kenyataan dan sisi yang lainnya tidak. Misalnya ayat ke 9
surat al-Qariah. Dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan ibu yang bernama
Hawiyah itu adalah majaz, yakni sama dengan penamaan ibu sebagai pengasuh dan
sebagai pelindung bagi anaknya. Demikian pula soal neraka, yang bagi orang
kafir merupakan tempat kembali.[10]
Pengertian demikian itu benar kalau kita berhenti pada susunan kalimat itu saja
dan tidak kita kaitkan dengan kalimat sebelumnya yang menyertainya. Jika ayat
itu kita baca lengkap dan dikaitkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Maka
tampak jelas adanya makna lain yang lembut. Semua amal perbuatan maknawi
(ideal, mental, spiritual dan lainnya) di materialisasikan, lalu ditimbang
dengan perasaan. Jika ringan tak berbobot maka ganjarannya mesti hawiyah,
lapisan neraka yang terbawah. Bagi manusia durhaka dalam keadaan yang sangat
mengerikan itu tak ada “ibu” tempat bernaung dan tempat menyelamatkan diri
selain tempat paling buruk itu.[11]
Kemudian yang termasuk majaz lughowi adalah penanaman sesuatu yang
bersifat juz’iy (partial) dengan nama yang bersifat kulliy
(global). Misalnya ayat ke 19 surat al-Baqarah. Pokok ungkapan dalam ayat itu
adalah jari-jari yang disumbatkan ke dalam telinga secara tidak lazim. Kalimat
tersebut melukiskan sikap mental orang-orang kafir yang diland aketakutan,
barpaling lalu melarikan diri dari Allah.[12]
Selain majaz adapula kinayah. Kinayah secara etimologi adalah lafadz yang
biasa digunakan orang berbicara dan mempunyai maksud yang lain. Sedangkan
secara terminologi adalah lafadz yang biasa dipahami berdasarkan kelaziman
maknanya, serta dibenarkan atau dibolehkan memahami berdasarkan makna
hakikinya.[13]
Kinayah adalah kata-kata atau kalimat yang berfungsi menerangkan makna.
Hal itu banyak terdapat dalam al quran, karena kinayah termasuk cara yang paling
mudah untuk menerangkan hal-ihwal yang dimaksud oleh suatu ayat, tetapi tidak
memerlukan pernyataan arti secara langsung. Misalnya ayat ke 223 surat
al-Baqarah yang menerangkan maksud hubungan seksual antara suami isteri dengan
menggunakan kata kinayah “cocok-tanam”. Hubungan suami isteri juga
di-kiayah-kan dengan kalimat; yang satu sebagai pakaian bagi yang lain,
sebagaimana ayat ke 187 surat al-Baqarah.
Contoh lain dari kinayah adalah ayat pertama dan keempat surat al-Lahab.
Kalimat ayat itu mengkinayahkan Abu Lahab sebagai penghuni neraka jahanam,
nasibnya di akhirat pasti akan menjadi umpan api menyala-nyala. Demikian pula
ayat keempat, yang mengkinayahkan isteri Abu Lahab yang gemar mengadu domba
nasibnya kelak akan menjadi bahan bakar neraka jahanam. Kinayah tadi jelas melukiskan nasib yang akan dialami oleh orang-orang
yand dimaksud, yaitu Abu Lahab dan isterinya.[14]
Terkadang al quran membiarkan imajnasi dalam bentuk penguraian yang tidak
hanya terbatas pada kalimat-kalimat kinayah simbolik saja, bahkan lebih jauh
lagi sampai pada kalimat yang bersifat ta’aridl.[15]
Kalau dalam kinayah harus mengucapkan kata-kata sesuai dengan makna yang
diinginkan, tapi dalam ta’aridl harus mengucapkan dengan kata-kata yang
menunjuk kepada sesuatu yang tidak termasuk maknanya.
Contoh dari hal ini adalah ayat ke 81 surat at-Taubah. Kalau hanya
dilihat dari makna lahir ayat tadi, tentu hanya berarti pemberitahuan, bahwa
api neraka itu jauh lebih panas. Padahal panasnya api neraka yang melampaui
segala panas di dunia ini telah umum diketahui. Jadi sebenarnya soal itu tidak
perlu diberitahukan lagi. Jadi sebenarnya, kalimat tersebut merupakan
peringatan keras bagi mereka yang enggan berangkat ke medan perag dengan alasan
panas yang terik. Mereka itulah yang diancam akan dimasukan ke dalam neraka
yang panasnya luar biasa.[16]
c.
Tasybih dan Isti’arah
Tasybih merupakan ungkapan yang menyatakan bahwa sesuatu mempunyai
persamaan dengan sesuatu lain dengan menggunakan penanda persamaan atau
perbandingan.[17] As
Suyuthi membagi kalimat yang bersifat tasybih menjadi dua bagian, yaitu mufrad
dan murakkab. Tentang tasybih murokkab as-Suyuthi berkata dalam bukunya,
unsur keserupaan terlepas dari yang satu terhadap lainnya. Misal ayat ke 5
surat al-Jum’ah. Unsur tasybih dalam ayat tersebut adalah keadaan si keledai
yang tidak memperoleh manfaat apa pun dari kitab-kitab tebal yang diangkutnya
dengan susah payah.[18]
Istiarah adalah menggunakaan suatu lafadz untuk selain arti asli yang
ditetapkan karena ada keserupaan antara arti yang dipindahkan dan arti yang
dipakai, bersama itu terdapat indikasi yang memalingkan untuk menghendaki makna
aslinya.[19] Salah
satu contohnya adalah ayat ke 18 surat at-Takwir. Oleh as-Suyuthi ayat ini
dipandang termasuk dalam jenis kalimat yang bersifat istiarah. Penjelasannya
sebagai berikut; keadaan nafas yang keluar sedikit demi sedikit dipakai untuk
menerangkan keluarnya cahaya di ufuk timur pada waktu fajar menyingsing
perlahan, berurutan dan secara berangsur-angsur.
Contoh lainnya adalah ayat pertama surat Ibrahim. Pada ayat di atas
lafadz dhulumat (kegelapan) dipinjam untuk mengungkapkan maksud al-dalal
(kesesatan), karena keserupaan keduaanya dalam hal tidak adanya
petunjuk/penerang. Adapun lafal al-nur dipinjam untuk mengungkapkan maksud
al-iman karena keserupaannya dalam hal mendapat petunjuk.[20]
[1] Dr,
Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004)
cet.9 h.448
[2] Agus
Tricahyo, Metafora dalam Al Quran, (Ponorogo:Stain Ponorogo Press: 2009) h.v
[3] Dr,
Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004)
h.450
[4] Syaikh
Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar:
2015) cet.13 h.333-334
[5] Syaikh
Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar:
2015) cet.13 h. 335-336
[6] Lihat Premilinary
discourse-nya Sale ke dalam bahasa Arab, (Kairo: 1909) h.400
[7] Muhammad
Abdul Halim, Memahami Al quran, (Jombang: Maja’:2002) h.25
[8] Muhammad
Abdul Halim, Memahami Al quran, (Jombang: Maja’:2002) h.25-26
[9] Lihat Al
Hasyimi, Jawahir al-Balaghoh, h.290
[10] Lihat al-Itqon,
jilid 2, h.60
[11] Dr,
Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004)
h.471-472
[12] Lihat
al-Itqon, jilid 2, h.60, dan al-Burhan jiid 2, h.262
[13] Agus
Tricahyo, Metafora dalam Al Quran, (Ponorogo:Stain Ponorogo Press: 2009)
h.57-58
[14] Dr,
Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004)
h.474-477
[15]
Penggunaan kata menurut maknyanya untuk menunjuk sesuatu yang lain dari
maknyanya
[16] Dr,
Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004)
h.479
[17] Ali
Jarim, Musthofa Amin, Balaghoh al Wadhihah (Mesir: Dar al-Ma’arif: 1957) h.23
[18] Dr,
Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004)
h.461
[19]Ahmad
al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah h.303
[20] Agus
Tricahyo, Metafora dalam Al Quran, (Ponorogo:Stain Ponorogo Press: 2009) h.50
0 comments:
Post a Comment