Monday, January 23, 2017

Gaya Bahasa Al quran
Al quran secara terus menurus menantang semua ahli kesusasteraan Arab supaya mencoba ditandingi. Tapi tak seorang pun yang mampu menjawab tantangan al quran. Mereka bahkan tidak sanggup menirunya, karena al quran memang berada di atas puncak yang tak mungkin diungguli. Dan al quran memang bukan kalimat manusia.
Karena demikian halnya maka wajar jika dalam kehidupan Islam dan mu’jizat al quran membangkitkan berbagai penelitian. Itulah yang membuka jalan para pakar untuk mengungkap segi balaghah (retorika) al quran dan gaya bahasanya yang unik dalam merumuskan susunan kalimat untuk melukiskan sesuatu.[1]
Sejak al quran ini diturunkan, banyak ilmuwan yang berusaha mengungkap keindahan bahasanya, seperti Abdul Qahir al-Jurjani (w. 1078 M), pengarang dua buku monumental I’jazul Quran dan Asrar al-Balaghah.[2] Dia adalah seseorang yang sangat kuat tanggap rasanya terhadap gaya bahasa al quran, sehingga nyaris melampaui zamannya dalam mengenali keindahan sastra Kitabullah al-Quran.[3] Beliau juga dikenal sebagai pencetus ilmu balaghoh.
Al quran, dimana orang Arab lumpuh untuk menandinginya itu, sebenarnya tidak keluar dari  aturan aturan kalam orang Arab, baik lafadz, huruf, maupun redaksinya. Tetapi al quran mempunyai jalinan huruf-huruf yang serasi, ungkapan yang indah, redaksinya simpatik, ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiyah dan fi’liyah, dalam nafi dan isbatnya, dalam dzikir dan hadzfnya dalam tankir dan ta’rifnya, dalam taqdim dan ta’khirnya, dalam ithnab dan ijaznya, dalam umum dan khususnya, dalam muthlaq dan moqayyad, nash dan fatwanya, maupun dalam hal lainnya. Dalam hal-hal tersebut dan yang serupa al quran telah mencapai tertinggi yang tidak sanggup kemampuan bahasa manusia untuk menghadapinya. [4]
Menurut al Qadhi Abu Bakar al-Baqillani  keindahan susunan al quran mengandung beberapa aspek kemukjizatan, diantaranya ada yang kembali kepada kalimat, yaitu bahwa susunan al quran dengan berbagai wajah dan mazhabnya berbeda dengan sistem dan tata urutan yang telah umum. Ia mempunyai redaksi yang khas dan berbeda dengan redaksi-redaksi kalam biasa.
Dalam hal ini perlu dijelaskan cara-cara membuat kalam yang indah dan teratur terbagi atas ‘arudl-‘arudl syair, kalam berwazan tanpa memperhatikan qofiyah, kalam berimbang dan bersajak, berimbang dan berwazan tanpa sajak, prosa yang dituntut ketepatan di dalamnya, kemanfaatan dan pemberian makna yang dikemukakan dengan bentuk yang indah dan susunanya yang halus sekalipun wazannya tidak seimbang. Dan kita tahu bahwa al quran tidak termasuk sajak dan tidak pula tergolong syair. Karena berbeda dengan semua macam kalam dan uslub khithab mereka jelaslah bahwa al quran keluar dari kebiasaan dan ia adalah mukjizat. Inilah sifat-sifat khas yang ada dalam al quran secara global dan berbeda dengan semuanya.[5]
Sebagaimana tadi disebutkan bahwa alquran mempunyai ciri khas, dan berikut beberapa ciri khas bahasa al quran.
a.       Susunannya Yang Khas
Al quran ini memiliki ciri khas diantaranya terletak pada susunan urutannya. Susunan al quran ini tidak mesti bersifat kronologis atau menurut urutan subjek. Pada banyak surat al quran bahkan mencampur banyak subjek, misalnya keimanan, ibadah, moral, dan hukum, dengan tujuan memperkuat ajaran-ajaran dasarnya.
Ayat kursi (QS al-Baqarah 255) misalnya, yang menampilkan sifat-sifat keagungan Allah datang setelah perintah kepada kaum beriman untuk menyedekahkan sebagian hartanya sebelum tiba suatu hari dimana tidak ada harta maupun persahabatan yang mampu menghindarkannya dari hadapan Allah, perintah sedekah ini tepatya terdapat di ayat sebelumnya (QS al-Baqarah 254). Orang-orang yang tidak memahami bagaimana al quran memaparkan tujuannya sendiri, mengritik hal serupa ini sebagai kesimpangsiuran.[6] Demikian pula dalam pembahasan tentang pemberian nafkah dalam perceraian, yang sering kali desertai dengan kepahitan dan sifat kikir (QS al-Baqarah 237), al quran tiba-tiba saja mengingatkan manusia untuk memelihara shalat dan berdiri di depan Allah dengan penuh pengabdian di ayat selanjutnya, sebeblum melanjutkan diskusi mengenai subjek semula. [7]
Seandainya al quran tersusun secara kronologis, tentulah ia akan menjadi sebuah biografi atau catatan sejarah. Seandainya ia tidak mencampur materi-materi berbeda, katakanlah mengenai Allah dan shalat dalam satu bab terpisah, atau menyisipkan satu bab yang lain tentang membayar sedekah dan bab ketiga tentang penyelesaian sengketa pernikahan, tentu ia akan memiliki pengaruh yang kuat yang timbul sebagai akibat penggunaan tema-tema ini untuk memperteguh pesan-pesannya di berbagai tempat.
Al quran bukan sebuah tesis akademik, melainkan kitab petunjuk dan memiliki metode tersendiri dalam targhib (anjuran) dan tarhib (ancaman) sehingga keduanya berjalan seimbang. Inilah ciri khas penting al quran. Dengan demikian dapat anda temukan  sesuatu yang kontras dalam ayat al quraa, setiap kali ia berbicara tentang surga dan pahala untuk orang-orang sholeh, selalu didampingi dengan penyebutan neraka dan azab bagi para pelaku kejahatan. Karena al quran mengakui bahwa akan selalu ada orang yang berbuat baik maupun orang berbuat jahat.
Meskipun al quran tidak ditulis dalam bentuk sebuah naskah yang disunting, dan Nabi pun tidak ikut campur dalam susunannya yang telah ditetapkan Allah, misalnya dengan menambah kalimat penyambung, namum hubungan antara ayat-ayat di dalam setiap surat dapat dipahami dengan mudah dalam bahasa Arab, entah dengan kata sambung pendek atau kata ganti, atau dengan mengulangi kata-kata tertentu yang merujuk kepada ayat sebelumnya, atau dengan menyingkatnya, atau dengan memberikan contoh.[8]
Demikianlah ciri khas susunan al quran yang berbeda dengan teks biasa lainnya. Al quran ini berbeda susunannya dengan yang lain karena memang yang menyusun al quran adalah Allah langsung tanpa bantuan campur tangan manusia, sekalian Rasul.
b.      Majaz dan Kinayah
Pengerti majaz adalah lafadz yang digunakan pada selain arti yang ditetapkan karena adanya pesesuaian serta qorinah (tanda) yang menunjukan untuk tidak menghendaki makna aslinya.[9]
Disini kita akan membahas tentang majaz dalam al quran. Majaz ada berbagai macam, diantaranya majaz ‘aqli (kalimat figuratif yang rasional), yang dalam susunan kalimat ada kaitannya dengan bentuk musyabahah. Kemudian majaz lughowi (kalimat figuratif yang linguistik), yaitu penggunaan kata bukan menurut makna bahasanya dan banyak terjadi pada kata-lata mufrod (singular). Disini tidak akan membahas secara rinci majaz-majaz tadi, karena hal itu bisa kita dapatkan di ilmu balaghoh, disini akan mengikuti beberapa ayat yang kemudian akan di bahas dan dikemukakan mengenai persoalan majaz tadi.
Diantara jenis majaz aqli ada yang kedua sisinya berlainan, yakni sisi yang satu berupa kenyataan dan sisi yang lainnya tidak. Misalnya ayat ke 9 surat al-Qariah. Dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan ibu yang bernama Hawiyah itu adalah majaz, yakni sama dengan penamaan ibu sebagai pengasuh dan sebagai pelindung bagi anaknya. Demikian pula soal neraka, yang bagi orang kafir merupakan tempat kembali.[10] Pengertian demikian itu benar kalau kita berhenti pada susunan kalimat itu saja dan tidak kita kaitkan dengan kalimat sebelumnya yang menyertainya. Jika ayat itu kita baca lengkap dan dikaitkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Maka tampak jelas adanya makna lain yang lembut. Semua amal perbuatan maknawi (ideal, mental, spiritual dan lainnya) di materialisasikan, lalu ditimbang dengan perasaan. Jika ringan tak berbobot maka ganjarannya mesti hawiyah, lapisan neraka yang terbawah. Bagi manusia durhaka dalam keadaan yang sangat mengerikan itu tak ada “ibu” tempat bernaung dan tempat menyelamatkan diri selain tempat paling buruk itu.[11]
Kemudian yang termasuk majaz lughowi adalah penanaman sesuatu yang bersifat juz’iy (partial) dengan nama yang bersifat kulliy (global). Misalnya ayat ke 19 surat al-Baqarah. Pokok ungkapan dalam ayat itu adalah jari-jari yang disumbatkan ke dalam telinga secara tidak lazim. Kalimat tersebut melukiskan sikap mental orang-orang kafir yang diland aketakutan, barpaling lalu melarikan diri dari Allah.[12]
Selain majaz adapula kinayah. Kinayah secara etimologi adalah lafadz yang biasa digunakan orang berbicara dan mempunyai maksud yang lain. Sedangkan secara terminologi adalah lafadz yang biasa dipahami berdasarkan kelaziman maknanya, serta dibenarkan atau dibolehkan memahami berdasarkan makna hakikinya.[13]
Kinayah adalah kata-kata atau kalimat yang berfungsi menerangkan makna. Hal itu banyak terdapat dalam al quran, karena kinayah termasuk cara yang paling mudah untuk menerangkan hal-ihwal yang dimaksud oleh suatu ayat, tetapi tidak memerlukan pernyataan arti secara langsung. Misalnya ayat ke 223 surat al-Baqarah yang menerangkan maksud hubungan seksual antara suami isteri dengan menggunakan kata kinayah “cocok-tanam”. Hubungan suami isteri juga di-kiayah-kan dengan kalimat; yang satu sebagai pakaian bagi yang lain, sebagaimana ayat ke 187 surat al-Baqarah.
Contoh lain dari kinayah adalah ayat pertama dan keempat surat al-Lahab. Kalimat ayat itu mengkinayahkan Abu Lahab sebagai penghuni neraka jahanam, nasibnya di akhirat pasti akan menjadi umpan api menyala-nyala. Demikian pula ayat keempat, yang mengkinayahkan isteri Abu Lahab yang gemar mengadu domba nasibnya kelak akan menjadi bahan bakar neraka jahanam. Kinayah tadi jelas  melukiskan nasib yang akan dialami oleh orang-orang yand dimaksud, yaitu Abu Lahab dan isterinya.[14]
Terkadang al quran membiarkan imajnasi dalam bentuk penguraian yang tidak hanya terbatas pada kalimat-kalimat kinayah simbolik saja, bahkan lebih jauh lagi sampai pada kalimat yang bersifat ta’aridl.[15] Kalau dalam kinayah harus mengucapkan kata-kata sesuai dengan makna yang diinginkan, tapi dalam ta’aridl harus mengucapkan dengan kata-kata yang menunjuk kepada sesuatu yang tidak termasuk maknanya.
Contoh dari hal ini adalah ayat ke 81 surat at-Taubah. Kalau hanya dilihat dari makna lahir ayat tadi, tentu hanya berarti pemberitahuan, bahwa api neraka itu jauh lebih panas. Padahal panasnya api neraka yang melampaui segala panas di dunia ini telah umum diketahui. Jadi sebenarnya soal itu tidak perlu diberitahukan lagi. Jadi sebenarnya, kalimat tersebut merupakan peringatan keras bagi mereka yang enggan berangkat ke medan perag dengan alasan panas yang terik. Mereka itulah yang diancam akan dimasukan ke dalam neraka yang panasnya luar biasa.[16]
c.       Tasybih dan Isti’arah
Tasybih merupakan ungkapan yang menyatakan bahwa sesuatu mempunyai persamaan dengan sesuatu lain dengan menggunakan penanda persamaan atau perbandingan.[17] As Suyuthi membagi kalimat yang bersifat tasybih menjadi dua bagian, yaitu mufrad dan murakkab. Tentang tasybih murokkab as-Suyuthi berkata dalam bukunya, unsur keserupaan terlepas dari yang satu terhadap lainnya. Misal ayat ke 5 surat al-Jum’ah. Unsur tasybih dalam ayat tersebut adalah keadaan si keledai yang tidak memperoleh manfaat apa pun dari kitab-kitab tebal yang diangkutnya dengan susah payah.[18]
Istiarah adalah menggunakaan suatu lafadz untuk selain arti asli yang ditetapkan karena ada keserupaan antara arti yang dipindahkan dan arti yang dipakai, bersama itu terdapat indikasi yang memalingkan untuk menghendaki makna aslinya.[19] Salah satu contohnya adalah ayat ke 18 surat at-Takwir. Oleh as-Suyuthi ayat ini dipandang termasuk dalam jenis kalimat yang bersifat istiarah. Penjelasannya sebagai berikut; keadaan nafas yang keluar sedikit demi sedikit dipakai untuk menerangkan keluarnya cahaya di ufuk timur pada waktu fajar menyingsing perlahan, berurutan dan secara berangsur-angsur.
Contoh lainnya adalah ayat pertama surat Ibrahim. Pada ayat di atas lafadz dhulumat (kegelapan) dipinjam untuk mengungkapkan maksud al-dalal (kesesatan), karena keserupaan keduaanya dalam hal tidak adanya petunjuk/penerang. Adapun lafal al-nur dipinjam untuk mengungkapkan maksud al-iman karena keserupaannya dalam hal mendapat petunjuk.[20]


[1] Dr, Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004) cet.9 h.448
[2] Agus Tricahyo, Metafora dalam Al Quran, (Ponorogo:Stain Ponorogo Press: 2009) h.v
[3] Dr, Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004) h.450
[4] Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar: 2015) cet.13 h.333-334
[5] Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar: 2015) cet.13 h. 335-336
[6] Lihat Premilinary discourse-nya Sale ke dalam bahasa Arab, (Kairo: 1909) h.400
[7] Muhammad Abdul Halim, Memahami Al quran, (Jombang: Maja’:2002) h.25
[8] Muhammad Abdul Halim, Memahami Al quran, (Jombang: Maja’:2002) h.25-26
[9] Lihat Al Hasyimi, Jawahir al-Balaghoh, h.290
[10] Lihat al-Itqon, jilid 2, h.60
[11] Dr, Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004) h.471-472
[12] Lihat al-Itqon, jilid 2, h.60, dan al-Burhan jiid 2, h.262
[13] Agus Tricahyo, Metafora dalam Al Quran, (Ponorogo:Stain Ponorogo Press: 2009) h.57-58
[14] Dr, Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004) h.474-477
[15] Penggunaan kata menurut maknyanya untuk menunjuk sesuatu yang lain dari maknyanya
[16] Dr, Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004) h.479
[17] Ali Jarim, Musthofa Amin, Balaghoh al Wadhihah (Mesir: Dar al-Ma’arif: 1957) h.23
[18] Dr, Subhi as-Shalih, Memahas Ilmu-ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 2004) h.461
[19]Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah h.303
[20] Agus Tricahyo, Metafora dalam Al Quran, (Ponorogo:Stain Ponorogo Press: 2009) h.50

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Powered by Blogger.

search

Buku (Prediksi) SPMB UIN Jakarta 2021

  SPMB Mandiri atau Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Mandiri, adalah salah satu jalur yang mempunyai kuota paling besar untuk masuk UIN Jak...

About

Aghnin Khulqi adalah seorang mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab semester 6 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Popular Posts