Tanwin
adalah salah satu tanda dari isim, seperti yang tercantum dalam nadzom Alfiyah
بالجر والتنوين والندا وأل # ومسند للاسم تمييز حصل
Yang artinya: jer, tanwin, nida, alif lam, dan musnad ilaih
adalah ciri-ciri isim.
Tanwin dan
alif lam, walaupun keduanya sama-sama ciri dari isim. Akan tetapi keduanya
bagaikan air dan minyak. Kenapa begitu? Karena tanwin dan alif lam tidak bisa
bersama, tidak bisa berdampingan, tidak bisa berada dalam suatu isim secara
bersamaan. Jika sudah ada tanwin berarti tidak ada alif lam, jika sudah ada
alif lam berarti tidak ada tanwin.
Tanwin juga
bisa menjadi patokan atau menjadi tolak ukur suatu isim berbentuk ma’rifat atau
berbentuk nakiroh. Sebenarnya bukan tanwinnya yang menjadi tolak ukur suatu
isim itu ma’rifat atau nakiroh, akan tetapi alif lamnya. Karena alif lam lah
yang menjadi salah satu ciri dari isim marifat. Seperti yang tertulis dalam
nadzom alfiyah.
وغيره معرفة كهم وذي # وهند وابني والغلام والذي
Yang artinya: selain isim nakiroh itu namanya isim ma’rifat,
isim ma’rifat diantaranya; isim dhomir, isim isyaroh, isim alam, isim yang
mudhof dengan isim ma’rifat, isim yang didahului alif lam, dan isim maushul
Akan tetapi karena sifat tanwin dan alif lam yang seperti air
dan minyak tadi, jadi secara tidak langsung tanwin juga bisa digunakan sebagai
tolak ukur suatu isim ma’rifat atau nakiroh.
Isim
ma’rifat tentunya terdapat alif lam dan dia tidak bertanwin, contohnya الطالبُ
. sedangkan isim nakiroh sebaliknya, contohnya طالبٌ
. dari berbagai banyak jenis tanwin, tanwin dalam contoh ini adalah jenis
tanwin tamkin, atau bisa juga disebut tanwin shorfi.
Sedikit
menjelaskan apa itu tanwin tamkin. Tanwin tamkin adalah tanwin yang masuk ke
dalam isim mu’rob. Bisa dinamakan dengan tanwin shorfi, karena isim yang tidak
bisa menerima tanwin ini disebut dengan ممنوع من الصرف , atau
kita sering menyebutnya dengan istilah isim ghoiru munshorif. Oleh karena bisa
disebut dengan tanwin shorfi.
Lalu kenapa
penulis memberi judul seperti itu, padahal sudah jelas tadi bahwa isim yang
nakiroh atau tidak beralif lam pasti dia akan ditanwin. Eiittssss,,, tunggu
dulu, tentunya penulis tidak sembarang memberi judul, dan tentunya mempunyai
alasan kenapa menulis judul tersebut.
Sebelumnya
mari kita lihat surat Al-Maidah ayat 119.
قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ
صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
Jika diteliti dengan seksama, dalam ayat ini terdapat satu
kalimat isim nakiroh yang tidak ditanwin. Lalu kenapa bisa begitu? Apakah benar
klo dia itu berupa isim nakiroh, lalu jika benar kenapa tidak ditanwin?
Berawal pertanyaan
inilah timbul rasa penasaran penulis, dan akhirnya jawaban dari rasa penasaran
tersebut akan penulis coba tuangkan dalam tulisan ini.
Kalimat يَوْمُ
dalam ayat tadi berkedudukan sebagai khobar dari mubtada هَٰذَا
. jika khobar tentu dibaca rofa, dan rofanya dengan dhummah karena dia adalah
isim mufrod. Tapi kenapa tidak ditanwin? Bukannya kalimat tersebut berupa
nakiroh. Ternyata kalimat يَوْمُ
di ayat tadi belum selesai, karena kalimat يَوْمُ
yang berkedudukan sebagai khobar mubtada, dia juga berkedudukan sebagai mudhof
dari suatu susunan idhofah. Seperti yang kita ketahui bahwa mudhofnya idhofah
tidak boleh ditanwin atau diakhiri nun. Sebagaimana dalam nadhom alfiyah.
نونا تالي الإعراب أو تنوينا # مما تضيف احذف كطور سينا
Yang maksudnya adalah; buanglah nun dan tanwin pada isim
mu’rob yang menjadi mudhofnya idhofah, contoh طورٍ
dan سينا menjadi طورِسينا
Dari sini sudah jelas bukan, kenapa kalimat يَوْمُ
tidak ditanwin. Karena kalimat يَوْمُ
berkedudukan sebagai mudhof, dan mudhof tidak boleh ditanwin. Sedangkan kalau
ada mudhof tentunya pasti ada mudhof ilaih supaya menjadi susunan idhofah yang sempurna, layaknya diriku jikalau
tanpamu akan jauh dari kata sempurna #eeaaakkkk.... lalu mudhof ilaihnya
dimana? Dan dirimu juga entah kemana L wkwk
Mudhof ilaih
dari kalimat يَوْمُ adalah jumlah fi’iliyah yang
berada sesudahnya, yaitu kalimat يَنْفَعُ.
Lhoh kok bisa mudhof ilaih berupa jumlah fi’liyah, lalu bagaimana hukumnya?
Dalam kitab I’rob al-Quran dijelaskan bahwa jumlah يَنْفَعُ
berkedudukan majrur sebagai mudhof ilaih dari يَوْمُ,[1]
dan dalam tafsir Bahrul Muhith, disebutkan bahwa asal kalimatnya adalah هذا يومُ نفعِ الصادقين .[2]
Ternyata ada
juga ya isim yang menjadi mudhof dari mudhof ilaih yang berupa jumlah
fi’iliyah. sebenarnya hal ini tidak aneh, karena kalau diperhatiakn lagi. Isim
yang menjadi mudhof tadi bukan isim biasa, tetapi berupa isim dhorof,
yaitu dhorof zaman mutashorrif. Karena memang ada suatu qoidah yang mengatakan
bahwa setiap isim zaman (dhorof) boleh dijadikan idhofah dengan jumlah, baik
itu ismiyah maupun fi’liyah.[3]
Sedangkan
i’rob bagi isim dhorof yang mudhof terhadap jumlah ada beberapa pendapat.
1. menurut Ulama Kufah
Mengatakan bahwa isim dhorof yang dimudhofkan ke jumlah
ismiyah atau fi’liyah (baik itu fiil mudhori atau madhi) maka boleh mu’rob dan
boleh mabni. Contohnya : هذا
يومُ/يومَ جاء زيد ، هذا يومُ/يومَ زيد قائم ، هذا يمُ/يومَ يقوم زيد
Sebagaimana contoh lain dalam syairnya Nabighoh Adzdzibyani
علي حينَ عاتبتُ المشيبَ على الصبا # فقلتُ ألمّا أصبحُ والشيبُ وازعُ
Kalimat حينَ
bisa juga dibaca murob menjadi حينِ
akan tetapi membacanya dengan mabni itu lebih dipilih.
2. menurut Ulama Basroh
Mengatakan bahwa isim dhorof yang dimudhofkan ke jumlah
ismiyah atau fi’liyah (yang berupa fiil madhi atau fiil medhori yang tidak
bertemu nun taukid atau nun jamak inast) maka wajib mu’rob.[4]
Dan apabila
dimudhofkan ke jumlah fi’liyah (yang berupa fiil madhi atau mudhori yang bertemu
dengan nun taukid atau nun jamak inast) maka wajib mabni
Contohnya sebagaimana dalam ayat yang telah diabahas هذا يومُ ينفع الصادقين صدقُهم. Contoh lain: هذا يومَ جاءَ زيدٌ
Akan tetapi
ada juga qiroat yang membaca ayat قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ dengan menggunakan fatkhah, menjadi قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمَ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ yaitu dari riwayat Imam Nafi’.[5]
Demikianlah
jawabanan yang penulis dapat atas rasa penasaran penulis, semua ini penulis
tulis ulang dari penjelasan yang penulis dapat dari dosen dan beberapa
referensi.
Semoga
bermanfaat J
[1] Muhyidin
ad-Darwisy, I’rob al-Quran wa Bayanuhu, jilid 4 h.54
[2] Abu
Hayan Al Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, jilid 4 h.67
[3] Lihat
al-Hawi fi at-Tafsir al-Qurannya Abdurrahman al-Qommas
[4] Lihat
syarah Ibnu Aqil nadhom وابن أواعرب ما كإذ قدأجريا ....
[5] Abu
Hayan Al Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, jilid 4 h.67
Makasih banyak ilmunya kak 😭✨🙏
ReplyDelete