Sedikit menanggapi pertanyaan dari teman penulis sekaligus
guru bagi penulis pada postingan sebelumnya
(membuang mubtada khobar sekaligus), yaitu kang Rofiudin Arif (Santri
Ploso Kediri) dan kak Arin Napisah (mahasiswi bahasa sastra arab UIN Jakarta
2014) yang keduanya ini penulis menyebutnya ahlul alfiyah. Kenapa penulis sebut
seperti itu, karena memang faktanya keduanya ini sangat nglotok
alfiyahnya atau hafal alfiyah diluar kepala, subhanallah bukan. Bukan hanya itu
keduanya ini juga paham isinya bukan sekedar hafal saja. Betapa senangnya
penulis, tulisannya yang penuh akan kekurangan dan kecacatan ini sempat dilirik
dan deberi kritikan dari keduanya.
Sebenarnya terbalik, justru penulis yang seharusnya menimba
dan mengeksploitasi ilmu nahwu dari kedua ahlul alfiyah ini. Tapi ya mau
bagaimana lagi, sepertinya kedua ahlul alfiyah ini memang sedang mengajari penulis namun dengan cara yang berbeda ini.
Langsung saja ke pertanyaan ka Arin. Dia bertanya; untuk
menentukan taqdir mubtada yang dibuang itu bagaimana?
Kemudian ke pertanyan kang Arif. hukumnya dibuang itu
apa? Kemudian ada syarat khususnya tidak?
Bismillah penulis akan mencoba jawab sepengetahuan penulis.
وحذف ما
يعلم جائز كما # تقول زيد بعد من عند كما
وفي جواب
كيف زيد قل دنف # فزيد استغني عنه إذ عرف
Nadhom ini sebenarnya tidak hanya memberi hukum khusus pada
mubtada dan khobar saja, akan tetapi pembuangan segala sesuatu yang sudah
diketahui baik itu mubtada atau khobar atau hal bahkan maful bih. Ibnu malik
dalam nadhom tadi hanya memberikan dua contoh yaitu pembuangan mubtada dan
khobar bukan berarti beliau membatasi dalam hal itu saja. Tetapi kalau di
perhatikan sebenarnya beliau memberikan suatu qoidah, apa qoidahnya? Qoidahnya
itu yang terletak di awal, yaitu وحذف ما يعلم جائز
. Adapun contoh dari qoidah tadi meliputi dua contoh di nadhom
selanjutnya yang berisi membuang mubtada dan membuang khobar. Dari qoidah ini
dapat diambil suatu pemahaman إن مبنى الكلام على العلم والفائدة ,
bahwa kerangka utama kalam terdiri atas pemahaman dan faidah (inti atau tujuan
dari kalam itu ya bisa memahamkan dan bisa berfaedah, disitulah letak intinya)
Yang menentukan taqdir mubtada itu dibuang atau tidak
adalah adanya dalil atau qorinah yang menunjukan bahwa terdapat mubtada atau
khobar yang dibuang. Kemudian dari mana kita bisa mengetahuinya? Kita bisa
mengetahui melalui pemahaman dan faidah dari kalam tadi. Artinya dalam kalam
tersebut sudah maklum dan dapat diketahui bahwa ada mubtada dan khobar yang dibuang,
dan kita paham dengan kalam tadi walaupun mubtada dan khobarnya dibuang. Seperti
dalam contoh أزيد قائم؟ dijawab نعم . jawaban
نعم ini bukanlah jumlah melainkan hurfun jawab, jumlahnya dibuang,
taqdirnya نعم زيد قائم.
Dari jawaban نعم saja pun kita
sudah paham apa yang dimaksud tanpa meyertakan
زيد قائم.
Kemudian hukum pembuangannya ini adalah jawaz bukan wajib.
يجوز حذف كل من المبتدأ والخبر عند وجود دليل يدل على المحذوف منهما
Syarat khususnya boleh dibuang atau tidak ya kembali lagi
ke awal tadi, إن مبنى الكلام على العلم والفائدة (kerangka kalam terdiri
atas pemahaman dan faidah). Apabila kalam tadi bisa memberi pemahaman dan
faedah walaupun ada yang dibuang, maka ya boleh hukumnya untuk membuangnya.
Sedikit tambahan postingan penulis sebelumnya, dalam ayat
والّئي
يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثلثة أشهر والّئي لم يحضن...
Ada dua versi pendapat, yang pertama adalah pendapat bahwa
lafadz yang dibuang bukanlah jumlah melainkan mufrod yaitu كذلك. Pendapat yang kedua
mengatakan bahwa yang dibuang berupa jumlah ismiyah yang terdiri mubtada
khobar, yaitu عدتهن ثلثة أشهر . Dan pada hakikatnya
keduanya ini menempati kedudukan yang sama yaitu sebagai khobar dari والّئي
Demikianlah mungkin sedikit yang dapat penulis sampaikan,
penulis yakin masih banyak kekurangan-kekurangan dalam tulisan ini. Dan sangat
butuh akan kritikan dan masukan dari pembaca yang terhormat. laalla showab,,, والله الموفق
0 comments:
Post a Comment